Hans Bague Jassin atau HB Jassin adalah kritikus sastra, penulis sastra, penerjemah, penyunting, dan cendekiawan muslim. Ia lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917.
Sastrawan yang akrab dipanggil Jassin ini lahir dari keluarga sederhana. Kegemarannya pada dunia sastra dikarenakan sang ayah, Bagus Mantu Jassin, senang membaca dan memiliki perpustakaan pribadi dengan beberapa koleksi buku.
Ia mendapat beberapa julukan seperti 'kritikus sastra', 'perawat sastra Indonesia', dan 'pembela sastra Indonesia'. Tentu saja julukan ini bukan tanpa alasan.
Dilansir dari buku berjudul H.B. Jassin Perawat Sastra Indonesia karya Prih Suharto tahun 2018 mengungkapkan bahwa masa kecil Jassin dihabiskan di Gorontalo. Sekolah di tahun pertama ia belajar kepada teman ayahnya.
Karena ia cepat menangkap dan mengingat ajaran teman ayahnya, ia pun masuk ke kelas dua di Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar khusus pribumi yang didirikan pada zaman Belanda.
Sejak masih kanak-kanak, Jassin suka membaca meskipun kebiasaannya ini awalnya diperintahkan oleh sang ayah. Dari situ, Jassin akhirnya terpaksa membaca.
Setelah tamat sekolah dasar, Jassin melanjutkan sekolah ke Medan. Di sana, Jassin sekolah di Hogere Burger School (HBS), yaitu sekolah menengah pertama di zaman Belanda.
Di kota Medan ini, Jassin sempat berkenalan dengan Chairil Anwar di sebuah perkumpulan pecinta baca dan olahraga. Jassin juga bertemu dengan Adinegoro, wartawan terkemuka kala itu, di Medan.
Jassin belajar menulis dari Adinegoro. Awalnya, ia diberi tugas untuk menerjemahkan berita dari luar negeri serta memeriksa berita yang akan disiarkan.
Sambil mengerjakan tugas dari Adinegoro, Jassin juga belajar membuat laporan, menulis steno, dan memotret gambar. Tak memerlukan banyak waktu, Jassin dapat menguasai ketiganya.
Pertama kali ia bekerja adalah ketika Jassin diminta untuk menulis opini tentang film dan tanpa dibayar. Kala itu, Jassin masih magang dan belajar bekerja. Namun ketika ia membuat tulisan selain yang ditugaskan, ia baru akan dibayar.
Setelah menamatkan sekolah di Medan, Jassin kembali ke Gorontalo. Sebelum itu, ia sempat singgah di Jakarta dan bertemu Sutan Takdir Alisyahbana, pengarang terkenal yang bekerja di Balai Pustaka
Ia sempat ditawari untuk bekerja di Balai Pustaka, tetapi terpaksa menolaknya dan akhirnya kembali ke Gorontalo. Namun, pada akhirnya Jassin dapat bekerja sama di Balai Pustaka bersama Aman Datuk Mojoindo, Tulis Sutan Sati, Armijn Pane.
Selama bekerja di Balai Pustaka, Jassin diberi tugas membuat ulasan buku-buku sastra. Lantas, ia menerbitkan buku dan mengurusi majalah sastra Pandji Pustaka.
Jassin bekerja di Balai Pustaka sampai tahun 1947. Setelah itu, ia melanjutkan pekerjaan yang masih satu lingkungan majalah kesusastraan dan kebudayaan, yaitu sebagai berikut.
Mengingat tugas pertama yang dibuatnya adalah menerjemahkan berita, ia pernah juga menjadi penerjemah lebih dari 33 buku sejak tahun 1940-an, salah satunya buku 'Max Havelaar' yang diterjemahkan dari bahasa Belanda.
Hal inilah yang membuatnya mendapat hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Berhard Fonds di Den Haag, Belanda, atas terjemahan karya Multatuli berjudul 'Max Havelaar'.
HB Jassin pernah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut.
Selain itu, HB Jassin telah berkontribusi sebagai editor di 14 buku, seperti Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 dan Kisah: 13 Tjerita Pendek.
HB Jassin meninggal pada 11 Maret 2000 di Jakarta. Sepeninggalannya, banyak orang mengatakan bahwa tidak akan pernah ada orang dengan perhatian besar dan rasa cinta yang begitu besar terhadap kesusastraan Indonesia seperti Jassin.