Selain Sukarno dan Mohammad Hatta, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia juga turut disusun oleh Achmad Soebardjo. Soebardjo pula yang menjaminkan nyawa kepada golongan muda yang menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok terjadi karena anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara golongan muda dan golongan tua berbeda pendapat.
Golongan muda ingin sekali cepat untuk memproklamasikan kemerdekaan sedangkan golongan tua masih ingin menunda. Golongan muda akhirnya menyembunyikan/membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya, menekan mereka agar segera memproklamasikan kemerdekaan supaya terlepas dari ikatan Jepang.
Sedangkan di Jakarta ada Achmad Soebardjo dan golongan tua yang bertemu dengan Wikana yang merupakan salah satu golongan muda. Pada pertemuan tersebut disepakati proklamasi kemerdekaan harus segera dilaksanakan di Jakarta.
Berdasarkan keputusan tersebut, Achmad Soebardjo beserta sekretaris pribadinya Sudiro diantar Jusuf Kento pergi ke Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno dan Hatta, demikian dikutip dari artikel 'Memperkenalkan Sejarah Achmad Soebardjo' yang ditulis Nadhirotul Hadiah dan Anis Fuadah Z dalam Jurnal AsSibyan Volume 3 Nomor 1 2020.
Soebardjo berhasil membawa Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta dari Rengasdengklok karena menjaminkan dirinya kepada golongan muda. Soebardjo berinisiatif mengambil tindakan untuk berdialog dengan kelompok muda saat tahu Sukarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok pada 16b Agustus 1945.
Soebardjo menjanjikan kemerdekaan akan dilaksanakan sesegera mungkin kepada golongan muda. Untuk meyakinkan golongan muda itulah, Soebardjo memberikan jaminan nyawanya. Soebardjo bersedia menyerahkan dirinya untuk ditembak jika kemerdekaan tak dilaksanakan keesokan harinya, 17 Agustus 1945, demikian dikutip dalam skripsi 'Peranan Ahmad Soebardjo Dalam Persiapan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945' oleh Moh Hanif Innaman N dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.
Rencana awalnya, teks proklamasi akan disusun di Hotel Des Indes namun sayang, hotel itu sudah tidak dapat digunakan. Lantas Achmad Soebardjo juga yang mengusulkan untuk menggunakan kediaman Laksamana Tadashi Maeda sebagai tempat perumusan teks proklamasi.
Usulan Soebardjo diterima karena rumah Maeda merupakan tempat yang cocok untuk merumuskan teks proklamasi, karena dianggap tidak akan dapat gangguan dari angkatan darat Jepang. Maeda merupakan salah satu tokoh Jepang yang sangat bersimpati pada pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Soebardjo berhasil melobi Laksamana Maeda untuk memakai rumahnya karena punya sejarah kedekatan dengan Maeda. Dalam skripsi 'Peranan Ahmad Soebardjo Dalam Persiapan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945' yang disusun Moh Hanif Innaman dari Universitas Jember, pada masa kependudukan Jepang tahun 1942, Achmad Soebardjo mengubah pendiriannya menjadi kooperatif terhadap pihak kolonial Jepang.
Soebardjo dipercaya menjadi salah satu peneliti angkatan laut Jepang yang diketuai oleh Laksamana Maeda. Hal ini menimbulkan kedekatan terhadap beberapa orang Jepang, termasuk Maeda.
Setelah menjaminkan nyawa kepada para golongan muda yang menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, membawa pulang Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta, hingga melobi Laksamana Maeda untuk memakai rumahnya menyusun teks proklamasi, Soebardjo juga turut merumuskan teks proklamasi bersama Sukarno-Hatta.
Sukarno menuliskan konsep teks proklamasi pada selembar kertas, sedangkan Hatta dan Soebardjo menyumbangkan pikiran secara lisan, demikian dikutip dari artikel 'Memperkenalkan Sejarah Achmad Soebardjo' yang ditulis Nadhirotul Hadiah dan Anis Fuadah Z dalam Jurnal AsSibyan Volume 3 Nomor 1 2020.
Achmad Soebarjo yang aslinya bernama Mr Raden Achmad Soebardjo Djojoadisaerjo akhirnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama setelah Indonesia merdeka yang dilantik pada 18 Agustus 1945. Jabatan Menlu kembali dijabatnya pada tahun 1951-1952. Atas jasa-jasanya, Achmad Soebardjo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2009.
Nama lengkap: Mr Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
Tempat tanggal lahir: Teluk Jambe, Karawang 23 Maret 1896
Orang tua: Muhammad Yusuf dan Wardinah
Pendidikan:
Jabatan:
Wafat: Jakarta, 15 Desember 1978
Makam: Cipayung Bogor