TRIBUNKALTENG.COM, PALANGKA RAYA - Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, sebuah kisah inspiratif mengalun lembut dari pedalaman Kalimantan.
Russella Narpan M Apoi, wanita berusia 80 tahun, menjadi penjaga warisan budaya Dayak agar tak lekang oleh waktu.
Melalui film dokumenter "Kinyah Mandau: War Dance of Dayaknese", sutradara Dw 'Ahok' Nugroho menghadirkan potret tentang dedikasi seorang seniman tua dalam mewariskan tarian perang kuno kepada generasi muda.
Film ini diproduksi Marabunta Production juga didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Danaindonesiana, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan berbagai lembaga lainnya.
Film ini dibuka dengan cuplikan arsip Belanda yang memperlihatkan para penari lelaki Dayak meliuk dengan mandau dan talawang (perisai) dalam tarian Kinyah Mandau ritual yang dilakukan sebelum dan sesudah perang.
Waktu berlalu, dan kamera beralih ke sosok Russella di kediamannya di Kelurahan Selat Tengah, Kapuas.
Meski usia telah menggerogoti pendengaran dan ingatannya, semangat menari tak pernah padam dalam dirinya.
Erliansyah Narpan M Apoi, putra Russella yang kini bertugas di Dinas Pariwisata Kabupaten Kapuas, menjelaskan bahwa Kinyah Mandau yang dahulu merupakan tarian perang, kini telah menjadi fondasi bagi berbagai tarian Dayak modern.
Mandau, parang khas suku Dayak, dahulu merupakan senjata yang ditakuti dalam peperangan.
Namun, di tangan para penari seperti Russella, senjata ini bertransformasi menjadi instrumen seni yang memikat.
"Di tangan orangtua saya, tarian ini menjadi milik semua orang. Bukan lagi simbol yang menakutkan, melainkan cerminan budaya dan kelembutan Dayak," ujarnya.
Film ini mencapai klimaks ketika dua gadis muda berusaha mengikuti gerakan Russella.
Meski tertatih, semangat mereka untuk mempelajari Kinyah Mandau menumbuhkan harapan bahwa warisan budaya ini akan terus hidup.
Di penghujung film, Russella menyampaikan pesan, "Jangan menari karena uang."
Sutradara Dw Nugroho menafsirkan pesan ini sebagai filosofi hidup yang lebih luas.
"Komitmen terhadap kesenian tidak mengenal usia. Bahkan dari hal yang paling ditakuti pun bisa tercipta kelembutan," jelasnya.
Russella telah membuktikan bahwa dengan kesetiaan dan keteguhan, sesuatu yang dahulu ditakuti bisa menjadi objek kekaguman.
Kinyah Mandau di tangannya bukan lagi sekadar tarian perang, melainkan jembatan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Film "Kinyah Mandau: War Dance of Dayaknese" bukan sekadar dokumenter, tetapi juga pengingat akan kekuatan seni dalam mentransformasi masyarakat.
Melalui sosok Russella, kita diajak untuk merefleksikan makna perjuangan, bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam menjaga warisan budaya di tengah arus modernisasi.
Saat layar menggelap dan lampu ruangan menyala, Kisah Russella dan Kinyah Mandau disambut tepuk tangan penonton.
Kisah yang akan terus bergema, menginspirasi generasi mendatang untuk terus menari bukan demi materi, melainkan demi kelestarian budaya dan kemanusiaan itu sendiri.