TRIBUNJATIM.COM - Tugu Pesut yang merupakan ikon baru Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), tengah ramai disorot.
Publik menyoroti desian Tugu Pesut tersebut, beberapa unggahan di media sosial pun langsung banjir kritikan.
Apalagi pembangunannya menghabiskan biaya senilai Rp1,1 miliar.
Untuk diketahui, Tugu Pesut berada di Simpang Mall Lembuswana, antara Jalan Ahmad Yani dan Cipto Mangunkusumo.
Tugu Pesut yang berwarna merah tersebut memiliki tinggi 8 meter dan terbuat dan kontruksi baja berlapiskan kabel plastik daur ulang.
Adapun inspirasi desain tugu ini menggambarkan siluet Pesut Mahakam, mamalia air tawar khas Sungai Mahakam yang hampir punah.
Dinas PUPR Kota Samarinda melalui akun Instagram resmi @dpuprkotasamarinda menyebut, Tugu Pesut ini merupakan revitalisasi dari Tugu Parasamya Purnakarya Nugraha yang sudah ada sebelumnya.
Namun Tugu Pesut yang jadi ikon baru Kota Tepian ternyata tidak hanya menuai pujian, juga perbincangan di tengah masyarakat.
Tugu Pesut yang memiliki bentuk unik ini sempat dikeluhkan beberapa warga lantaran mempunyai desain yang sulit dimaknai.
"Kalau saya pribadi agak susah memaknainya. Tidak dapat referensi maknanya," ujar warga Teluk Lerong Ilir, Ajib, seperti dikutip dari Tribun Kaltim.
"Awalnya saya kira itu hanya garis biasa, baru tahu juga kalau itu ternyata pesut," imbuhnya.
Pendapat serupa juga dilontarkan warga lain terkait desain patung tersebut.
"Menurut saya alangkah baiknya harusnya ikon Kalimantan biar jelas bentuknya, sekalian saja bentuk Pesut Mahakam," tutur warga Sempaja Timur bernama Norliana.
"Karena kalau kita menjelaskan ke anak-anak atau bagi orang yang tidak tahu bentuk Pesut Mahakam itu bagaimana, jadi lebih mudah dipahami," tambahnya.
Ada juga warga yang baru bisa memahami bentuk patung setelah mengamatinya dari berbagai sudut.
"Awal diberitahu lewat sosial media itu pesut, saya enggak percaya. Karena dilihat sekilas itu enggak ada bentuk pesut, lebih mirip angka 0."
"Tapi setelah lihat dari beberapa sudut (dari jauh), baru paham kalau itu memang bentuk dari pesut."
"Kalau dilihat dari sudut yang benar, bagian merah dari tugu itu membentuk garis pinggir dari pesut," jelas warga Cendana, Riri.
Kabid Cipta Karya DPUPR Samarinda, Andriani Hanina menerangkan bahwa desain abstrak tugu yang dibangun ini memang dirancang sebagai siluet Pesut Mahakam.
"Menurut arsiteknya, bentuk ini adalah representasi siluet pesut," katanya.
Namun hingga saat ini, waktu peresmian Tugu Pesut Mahakam masih menunggu arahan dari Wali Kota Samarinda.
"Kami mengikuti arahan saja soal peresmian," singkat Andriani.
Sementara, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Samarinda, Uwim Mursalim ikut buka suara.
Ia menyebut bahwa sebelum konstruksi dimulai, setidaknya terdapat tiga desain yang diajukan oleh tim perencana kepada Wali Kota Samarinda, Andi Harun.
Adapun desain yang akhirnya terpilih adalah desain tugu yang kini telah berdiri megah.
Uwin mengatakan bahwa proyek pembangunan Tugu Pesut ini dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2024 dengan total anggaran Rp1,1 miliar.
Selain pembangunan tugu yang baru, area di sekitarnya pun dipercantik dengan lampu sorot, jalur pejalan kaki, dan area hijau.
Sehingga kawasan tugu yang baru tidak hanya dirancang untuk mempercantik kota, namun juga dapat memberikan ruang publik yang nyaman bagi masyarakat.
Meskipun menuai berbagai tanggapan, kehadiran Tugu Pesut diharapkan dapat menjadi simbol kebanggaan Samarinda.
Selain itu, tugu ini juga dapat mengingatkan masyarakat tentang pentingnya melestarikan fauna khas Sungai Mahakam tersebut.
"Tugu Pesut berfungsi sebagai elemen estetika kota dan juga menjadi simbol keindahan alam kota, tetapi juga menggambarkan ekosistem khas Sungai Mahakam yang identik dengan Pesut Mahakam.
Tugu Pesut ini diharapkan dapat menjadi ikon baru Samarinda dan menarik lebih banyak wisatawan untuk mengunjungi kota ini," tulis akun Instagram DPUPR Kota Samarinda (@dpuprkotasamarinda).
Pengamat tata kota, Farid Nurrahman turut menanggapi polemik desain Tugu Pesut tersebut.
"Ini jatuhnya kalau di bidang citra tata kota adalah landmark atau penanda. Fungsinya juga untuk estetika kota."
"Tapi kalau bicara soal estetika kota, sebenarnya tidak ada patokannya, hanya mengikuti esensi si pembuat yang disesuaikan dengan karakteristik kota atau budayanya," ujar Farid.
Menurut Farid, desain serupa sudah lazim di kota besar, seperti Denpasar, meskipun selera seni tidak bisa diukur hanya dengan anggaran.
"Namun ini kembali lagi ke selera seni yang tidak bisa dinilai dengan uang, tapi orang yang paham tentang seni pasti paham," sebutnya.
Farid menilai, langkah memperkenalkan Tugu Pesut sebagai landmark baru di Samarinda adalah hal yang positif.
"Kalau kacamata pengamat tata kota, ya itu menjadi sesuatu yang baik saja. Artinya, dari Pemkot punya niatan untuk menaruh suatu landmark di suatu kawasan," katanya.
Keberadaan tugu ini dinilai berhasil menarik perhatian publik, meski tanggapan masyarakat beragam.
"Kalau sekarang tugu itu jadi perhatian orang ya sesuai tujuannya sebagai landmark yang berhasil, karena berhasil mendapat perhatian."
"Sentimentalitasnya, positif atau negatif, itu kembali lagi ke selera masing-masing. Belum tentu pendapat masyarakat yang terdengar di publik menjadi anggapan yang diterima semua masyarakat," tuturnya.
Farid melihat hal ini sebagai proses pembelajaran seni kota bagi masyarakat.
"Masyarakat kita mungkin masih belum bisa menerima, bisa jadi literatur terhadap seni di kota kita masih terbatas, sehingga wajar belum paham, tapi bisa menjadi pelajaran juga," tambahnya.
Farid berharap, masyarakat lebih memahami seni kota dan mendorong partisipasi publik dalam desain kota di masa depan, seperti sayembara logo yang dilakukan di beberapa daerah.
"Misal masyarakat bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pemilihan desain di Taman A, Taman B, dan lain-lain," ujar Farid.
Ia juga menyarankan Pemkot melibatkan asosiasi arsitek dalam desain kota.
"Pasti mereka juga punya beribu ide," pungkasnya.