SURYA.co.id - Berikut cara mengganti (qadha) utang Puasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui, sebelum Bulan Ramadhan 2025 tiba.
Tata cara mengganti utang Puasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui berbeda dengan wanita haid.
Sebab, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.
Mengganti utang Puasa Ramadhan bagi ibu hamil dan menyusui tergantung pada tiga perkara.
Apa saja tiga perkara tersebut?
Dilansir dari Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita oleh Abdul Syukur Al-Azizi, inilah penjelasan hukum puasa qadha dan bayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selengkapnya.
1. Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan dirinya sendiri
Bagi wanita yang mengalami kondisi ini, maka ia hanya wajib untuk mengganti Puasa Ramadhan, tanpa harus membayar fidyah. Kondisi ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya.
Hal ini merujuk pada firman Allah Swt berikur:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"...Maka, barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...." (QS. al-Baqarah [2]: 184).
Dalam kitab Al-Mughni (4/394), lanjut penjelasan buku tersebut, bagi wanita hamil atau menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya, Ibnu Qudamah mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya."
2. Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan dirinya dan bayi di kandungan
Bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan kondisi dirinya sekaligus bayinya, dihukumi sama dengan kondisi pertama.
Yaitu, hanya diwajibkan untuk mengganti Puasa Ramadhan, tanpa harus membayar fidyah.
Puasa itu bisa dilaksanakan ketika telah sanggup.
Madzhab Syafi'i juga berpegang pada hukum ini, sebagaimana kata Imam Nawawi (Al-Majmu': 6/177).
"Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) mengatakan, 'Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka ia berbuka, tetapi wajib meng-qadha'. Tidak ada fidyah karena ia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi'iyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) ia berbuka dan meng-qadha' tanpa ada perselisihan (di antara Syafi'iyah)."
3. Khawatir dengan kondisi bayinya saja
Mayoritas ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan Puasa Ramadhan karena mengkhawatirkan keadaan bayinya saja, maka wajib mengganti puasanya sekaligus membayar fidyah.
Hal ini merujuk pada hadis berikut,
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas Ra. berkata, "Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin." (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syekh Albani dalam Irwa'ul Ghalil)
Wanita hamil dan menyusui dalam kondisi ini, harus membayar fidyah satu mud atau sekitar 675 gram setiap hari, sebanyak puasa yang ditinggalkannya.
Penjelasan ini didasarkan pada hadits berikut:
"Wanita itu boleh berbuka dan memberi makan orang miskin sebanyak satu mud setiap harinya (disebut juga dengan fidyah)." (HR. Malik dan Baihaqi).
Niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْخَوْفِ عَلَى وَلَدِيْ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadan karena khawatir keselamatan anaku, fardhu karena Allah.”
Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah.
Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.