TRIBUNBATAM.id, BATAM - Seorang pemuda tampak sibuk mengais botol-botol plastik di bawah terik matahari, di antara gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Jaket krem coklat dan biru dongker yang ia kenakan terlihat lusuh menutupi tubuhnya yang kurus.
Topi dan masker kain sederhana membalut wajahnya, berusaha melindungi diri dari debu dan bau sampah rumah tangga yang menyengat.
Di tangannya, sepasang sarung tangan tipis menjadi satu-satunya pelindung saat memilah sampah.
Sementara kakinya berbalut sepatu sederhana yang tampak usang, melangkah hati-hati di antara pecahan beling dan tumpukan limbah.
Pria di Batam itu bernama Andi (26). asal Medan, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang sudah sepuluh tahun merantau ke Batam demi menyambung hidup.
Berbagai pekerjaan pernah dijalaninya, namun kini memulung menjadi jalan hidupnya.
Setiap hari, mulai pukul 10 pagi hingga 2 atau 3 sore, Andi menyusuri lautan sampah di TPA Punggur.
Waktu kerjanya bergantung pada banyaknya sampah yang datang.
Semakin banyak truk yang mengangkut sampah, semakin lama ia bertahan.
"Kadang dapat 5 kilo, kalau banyak bisa 10 sampai 20 kilo," ujarnya sambil mengumpulkan botol plastik ke dalam karung besar, Jumat (14/2/2025).
Daripada menganggur, lebih baik cari kerja. Begitu kira-kira menurut kata hatinya.
Pemandangan pemulung berbondong-bondong menghampiri truk sampah yang baru tiba bukanlah hal asing.
Meski alat berat masih bekerja menggeser dan menumpuk sampah.
Mereka tetap nekat berkerumun, berharap mendapatkan lebih banyak barang layak jual.
Bertaruh keselamatan menjadi risiko yang harus diterima.
Risiko terkena alat berat, tergores paku, atau terluka oleh pecahan beling menjadi ancaman setiap hari.
Andi mengaku ada larangan yang harus dipatuhi di area pembuangan sampah tersebut.
"Ya, namanya cari rezeki, kita sudah tahu risikonya. Yang penting hati-hati," kata Andi dengan nada pasrah.
Namun, kehati-hatian tak selalu menjamin keselamatan.
Banyak pemulung mengalami luka-luka akibat kondisi TPA yang penuh benda tajam dan limbah berbahaya.
Bagi Andi, rasa takut itu selalu ada, tetapi ia tak punya pilihan.
"Kena paku dan beling itulah yang sering. Namanya nyari makan untuk hidup, ya harus berusaha," ucapnya pelan.
Di usianya yang masih produktif ini Andi memilih bertahan dalam pekerjaan ini ketimbang menganggur.
Meski penghasilan tak menentu, ia bersyukur masih diberi kesehatan hingga kini.
Dalam penuturannya, meski bekerja seperti sekarang ini belum tentu membuatnya kaya.
Namun setidaknya ia tak menjadi beban orangtuanya.
Kehadiran ratusan pemulung di TPA Punggur di Batam tak hanya menjadi cerita tentang perjuangan hidup, tetapi juga tantangan bagi para pekerja di sana.
Sam, salah seorang pekerja di TPA Punggur, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan pemulung.
"Untuk pemulung ini kan mereka juga mencari nafkah, namun kadang kami khawatir ya karena mereka berkerumun dekat alat berat itu," ujar Sam saat ditemui.
Ia melanjutkan, saat truk sampah hendak menurunkan sampah, bukannya menjauh dari truk san excavator.
Namun mereka malah menunggu di sekitarnya.
"Mereka kalau mencari itu sampah baru turun dari truk, belum semua keluar langsung jadi rebutan, operator excavator juga lumayan kesusahan," tambahnya.
Sam menyebutkan, sejak 2019 hingga kini, terdapat sekitar 700 kepala keluarga yang mencari nafkah di TPA Punggur.
"Orangnya ganti-gantian pasti. Dan bukan dari sekitar Punggur sini. Ada dari beberapa kecamatan lain, Piayu, Batam Center, Sagulung," jelasnya.
Dengan luas area mencapai 83 hektar, aktivitas di TPA Punggur memang cukup padat setiap harinya.
“Harapan saya ke depannya, para pemulung ini bisa lebih tertib sih. Jadi kami yang bekerja itu bisa cepat dan risiko itu tadi bisa diminimalisir," pungkasnya. (TribunBatam.id/Ucik Suwaibah)