Jumlah warga yang melaporkan diri sebagai korban praktik pertamax oplosan terus bertambah.
Hingga Selasa (4/3/2025), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima 590 aduan, baik secara daring maupun luring.
”Saat ini sudah ada 590 pengaduan yang masuk,” kata Direktur LBH Jakarta, Muhammad Fadhil Alfathan, Rabu (5/3/2025).
LBH Jakarta bekerja sama dengan Center of Economics and Law Studies (Celios) telah membuka Pos Pengaduan Warga Korban Pertamax Oplosan sejak Jumat (28/2/2025).
Pos ini berfungsi untuk memverifikasi apakah warga benarbenar mengalami kerugian akibat pencampuran RON 92 (Pertamax) dengan RON lebih rendah.
Rencananya, aduan itu bakal dijadikan bahan untuk menggugat Pertamina ke pengadilan melalui dua skenario:, melalui gugatan warga negara atau citizen law suit dan gugatan perwakilan kelompok atau class action.
Dihubungin terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman mendukung upaya warga untuk menggugat. Namun, ia menilai pembuktian kerugian dalam gugatan class action bukan perkara mudah.
"Karena class action tu kan harus membuktikan adanya kerugian. Apakah masyarakat. Bisa buktikan kerugian yang telah dideritanya? Itu bukan satu hal yang mudah," jelas Zaenur.
Ia menekankan pentingnya pengusutan dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina, Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 20182023.
Menurutnya, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk membongkar kasus ini dibandingkan jalur gugatan perdata.